Minggu, 17 Januari 2010

MERPATI PERGI DALAM SUNYI


By: Arra Nadya

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Rei, apa kabar? Kamu sehat- sehat aja kan? Aku harap seperti Itulah keadaanmu. Dan akuharap kamu tetap bersemangat seperti dulu. Seperti saat pertama kali kita bertemu di bawahatap mesjid Darussalam yang cukup megah di desa ini. Bersama guyuran hujan yang cukup lebathingga celana biru yang kau kenakan saat itu basah kuyup. Aku gak tega ngeliat kamukedinginan. Apalagi kamu gak bawa jaket untuk menghalangi dingin yang menembus kulit. Kamu bilang jaketnya ketinggalan di pondok pesantren. Yah, pada akhirnya hanya minyak kayuputih yang dapat kusodorkan. Itu pun bukan milikku pribadi, tapi titipan kakakku. (Gak pa-pa, ntar diganti deh!)
O ya, ngomong-ngomong, soal diteras mesjid, aku inget banget kamu ceplas-ceplos denganlogat bahasa Arab hanya untuk bilang,”Hujannya lebat ya!”,”Emang uda berapa lama nungguinhujan?”,”Kamu tinggal di mana?”, dan bla . . . bla . . . bla . . . . Jujur satu kalimat pun aku gakngerti. Anehnya lagi, kamu gak nanya nama. Akh, kau Rei! Ujung-ujungnya, kamu bingungsendiri. Aku yang sedari tadi sudah menangkap gurat bingung di wajahmu langsungmenjelaskan, bahwa aku gak terlalu ngerti akan bahasa Arab dan sekolahku bukan di madrasah, tetapi di SMA Widia Bangsa. Uda gitu baru tingkat sepuluh. Spontan, kamu hanya bisasumringah dengan pipi bersemu merah menahan malu. Tertipu dengan penampilanku layaknyasantriwati.
semester Pada akhirnya, sambil menunggu hujan reda, telingaku tertarik mendengarkan ceritamu. Decak kagum dan nyaris histeris memenuhi rongga dadaku saat kau ceritakan bahwa kau dikarantina di Ponpes Ibnu Sina. Subhanallah, itu sekolah impianku. Ya, impian yang gak tercapai. Meski aku gak mengenyam pendidikan di sana, tapi aku udah ketemu sama orang yang bersekolah disana. Dan saat ini kau sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Berhubung liburselama dua pekan. Hanya saja hujan nan deras telah menghambat perjalananmu. Tapi, tak apalah, sahutmu kala itu. Kalo gak hujan, mana mungkin aku dapat temen baru. Akh, kali inipipiku yang harus kau rebus. Merah niii . . . !!
Rei, gimana dengan aktivitas belajarmu saat ini? Aku yakin, pasti kamu sangat sibuk denganskedul dan planning yang telah kau rancang untuk tiga tahun kedepan. Selama 3 tahun masakarantina, kemampuan bahasa Inggris dan bahasa Arab hampir dekat-dekat lulusan S1 dikampus IAIN, hafalan Qur’an mencapai tingkat mumtaz, nilai Eksak tidak turun tangga danterakhir, beasiswa S1 ke Mesir dapat kau raih. Kamu bilang udah gak sabar banget ketemuulama-ulama besar di Al-Azhar terutama Dr. Al-Qhardawi, ulama kontemporer di bidang fiqihsyari’ah itu. Meraba tekstur indah dinding pyramid, salah satu keajaiban dunia yang dimiliki olehnegerinya Nabi Musa. Dan menyusuri sungai Nil yang jernih.
Aku terpana dengan impianmu yang sangat tinggi. Di hati kecilku tersimpan keyakinan bahwakau pasti bisa meraih bintangmu satu per satu. Kau punya segalanya Rei. Kecerdasan, kemandirian, keteguhan, tekad, semangat, motivasi, dan materi. Tinggal selangkah lagi, semuanya tercapai. Sedangkan aku? Entahlah, Rei. Aku takkan pernah tahu. Sepertinya, semuatelah terlambat. Impian terbang ke negeri Sakura harus terkubur dalam-dalam. Takkan pernahbisa, Rei!! Tidak akan! Sebab apa?? Ah, lidahku kelu untuk mengatakannya. Haruskahkukatakan dua tahun sudah usia kanker rahim bersarang dalam tubuhku?? Itulah dia, Rei! Yang telah membuat mataku tak hentinya menangis. Hingga hatiku pun turut menangis.
Saat ini, aku tengah terbaring di rumah sakit. Saat aku menulis dan menumpahkan tintakesedihan dan duka cita dalam kalbu sakit ini. Merenda hari-hari yang tersisa. Dengan suluruhkekuatan yang ada, kubaca lembaran-lembaran kitab La Tahzan. Agar selalu ada yang mengingatkanku untuk tidak bersedih . . .
Rei, kau tahu? Aku masih seperti dulu. Cahaya cintaku pada bahasa Arab sedikitpun takmeredup. Pahamilah betapa aku sangat menjunjung tinggi bahasa dakwah Rasul itu. Dan kautahu? Bahasa Arab adalah bahasa cinta yang Allah bisikkan ke dalam relung jiwa kekasih-Nya, Muhammad SAW.
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an, dimana hati yang keras menjadi lembut, yang gelapmenjadi terang, hingga muncul sebuah peradaban besar yang hingga kini denyutnya masihterasa. ISLAM!! Sebuah keyakinan yang saat ini kita dengungkan. Sebuah keyakinan yang sudah kita nikmati dan jalani. Suatu keyakinan yang mampu membuatku bertahan darihantaman ganasnya kanker dalam rahimku.

~”Subuh ini terasa begitu indah~~~~~~~~~~~~~
Lihatlah . . .~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Daun-daun dipenuhi oleh~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Beningnya embun~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pepohonan tampak segar~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Rumput-rumput menghijau~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bayu mengembara~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Menyapa setiap makhluk Allah~~~~~~~~~~~~~~~
Di bumi ini . . ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mengajak semuanya untuk bertasbih~~~~~~~~~~
Wahai sang bayu,~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Pertemukanlah hati ini pada hatinya~~~~~~~~~
~ Yang juga menikmati subuh ini . . .~~~~~~~



~”Saat ku melihat subuh`````````````````````
Ku melihat pesona Allah`````````````````````
Beningnya embun`````````````````````````````
Sebening mahabbah-Nya```````````````````````
Untuk segenap makhluk```````````````````````
Segarnya pepohonan``````````````````````````
Hijaunya rerumputan`````````````````````````
Itulah bukti dari keagungan-Nya...``````````
Hanya mutiara tasbih````````````````````````
Yang dapat ku persembahkan``````````````````
Biarlah sang bayu```````````````````````````
Mengiringi mutiara-mutiara itu`````````````
“~ Ke haribaan-Nya . . .````````````````````
Dan pautkan aku pada hatimu”~

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~



yang Rei apa kau masih ingat dengan apa yang telah kau ucapkan tepatnya 3 minggu yang lalu?? Kuharap kau ingat. Tepat sekali. Lewat rangkaian dua puisi itu, terlukis semua perasaanmusesungguhnya.
Dan aku?? Aku harus bilang apa, Rei? Apa?? Jika kau inginkan jawaban “katakan satu kalimatsaja” dari bibirku..maka aku akan bertanya, mengapa kau tega tusukkan belati tajam??
Kau tahu? Secara tak langsung tali persahabatan yang telah kita jalin selama ini spontanterputus. Ah, sudahlah! Mengapa harus ada konflik di antara kita hanya karena persoalanseperti itu?? Aku hanya kaget setengah mati, Rei? Dan tak percaya bahwa hati kitamenggumamkan rasa yang sama. Itulah yang ku takutkan. Aku takut untuk jatuh cinta padamu. Bagaimana ini, Rei? Aku hanya berharap ia tertepis oleh hembusan waktu . . . bisakah??
Entah kapan surat ini sampai ketanganmu. Namun, ketahuilah. Aku tak pernah berharap kaumembaca apa yang aku tulis di kertas ini. Setidaknya itu lebih baik. Agar kau tak perlu menaruhharapan karena nyatanya cintamu berbalas. Aku hanya merasa kesepian di ruangan ini. Rasasakit di perutku masih terasa. Pena dan kertas ini cukup menghibur dalam kesendirianku, walaubegitu.
yang Oya, kau ingat? Saat liburan lebaran tahun lalu. Kita terheran-heran dengan berbedanya jalurkita tempuh. Padahal rumah nenek kita sama-sama berada di area desa Sekura. Kau dankeluargamu menempuh jalur Sambas sedangkan kami melewati jalur penyebrangan di Kuala. Tiba-tiba kau berpendapat, jalur kita bisa saja disamakan. Gimana caranya? Tanyaku saat itu. Jawabannya, tinggal menyatukan dua keluarga, maka segalanya akan menjadi satu jalur. Gampang kan?? Apa?? Ah, kau, Rei! Candamu membuatku tertawa terbahak-bahak. Tapi, kalauseandainya itu menjadi kenyataan, gak keberatan kan? Aku hanya meng-AMIN-i. Jika tidakkujawab begitu, maka kau pun tak akan berhenti berkata konyol.
Rei, kapan ya aku bisa ke Jepang?? Meniti karir sebagai dokter untuk mengabdi di Indonesia? Yach! Aku tahu. Memang tak ada nabi yang lahir dan di utus ke negeri Samurai itu. Tapi, adasatu hal yang menarik perhatianku, perhatian dunia. Waktu!! Pentingnya waktu! Negara yang etos hidup penduduknya sangat akrab dengan kedisiplinan dan kerja keras. Benar khan? OrangMesir lupa akan hal itu. Salah satu pelajaran dari Rasulullah dan Sayyidina Umar.
Aaah, Rei!! Tanganku sudah lelah bercerita. Sungguh capek banget. Tapi, kebaikannya sangatterasa. Aku gak perlu menyusahkan Visha. Pazti dia juga gak bakal sanggup mendengarkan isihatiku yang panjang lebar ^_^ . . . Satu lagi, biarlah hanya Allah dan aku sendiri yang mengetahui dari awal sampai akhir surat ini.
Ketahuilah, Rei. Jika nanti kamu kembali, aku masih setia menanti untuk mendengarkan cerita-cerita petualanganmu selama berada di Ibnu Sina. Baiklah, sudah saatnya aku beristirahat. Melelapkan mata dan melepas semua beban dalam jiwa. Lihatlah aku sebagai merpati yang mengepakkan sayapnya. Terbang bebas, mengitari udara. Melintasi langit dengan membawasegunung kerinduan pada Dia, Sang Pemilik ‘Arasy.
Ku tutup surat ini dengan lantunan fiman-Nya . . .
*Wahai jiwa-jiwa yang tenang
*Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati puas lagi diridhoi-Nya . . . (QS. Al-Fajr: 27-28).
Wassalamu ‘alaikum wr.wb . . .

Sahabatmu, dan akan tetap menjadi sahabatmu,

“Zahra Khairunnisa”
^_^

Visha melipat kembali lembaran-lembaran kertas ungu yang telah ia baca. Air matanya kian deras menuruni pipi halusnya. Gadis berkacamata ungu itu sungguh tak mengira, begitu banyak hal yang Zahra sembunyikan dan lebih memilih menyimpannya sendiri dalam wujud rangkaian cerita yang tercoret dalam kertas itu. Lagi, yang lebih membuatnya tak menyangka, ada benih cinta yang bersemi antara dua insan yang sangat dekat dan dikenalnya. Antara Rei, kakak ketiganya dan Zahra, sahabat dekatnya. Benarkah?? Tapi, itulah kenyataan dari isi surat itu. Gadis itu masih tak percaya. Keduanya tak pernah menunjukkan tingkah aneh di mata Visha.
Surat itu ia temukan di bawah bantal bersama lembaran-lembaran kitab La Tahzan. Sesaat setelah jenazah Zahra dimandikan. Menyusuri lembaran-lembaran kitab tersebut mengingatkannya pada kondisi Zahra yang memprihatinkan. Zahra selalu membacanya, mendekapnya. Tepat 3 pekan sudah, teman sebangkunya itu berjuang melawan hantaman kanker dalam rahimnya. Terbaring lemah dan hanya bisa terbaring.
Kini sahabatnya telah pergi. Pergi dalam sunyi. Tak ada lagi yang akan mengajaknya berkubang di laboratorium setiap istirahat pertama, tak ada lagi yang akan menarik lengannya ke mushola SMA saat azan bergema, tak ada lagi saingan balap sepeda setiap pukul 06.30 pagi. Tak ada lagi dan tak ada lagi. Visha menyeka air matanya. Menghela nafas. Begitu cepat Zahra pergi. Ia pergi bersama mimpi yang belum sempat dicapainya. Zahra, meski kau belum jadi apa-apa, dihatiku kau adalah bintang dan dokter sejati, ucap Visha dalam hati. Segera disimpannya surat itu dalam laci meja belajar.
“Dan, Rei . . . , maafkan aku telah menyembunyikan kebenaran. Tapi, Zahra sendiri yang meminta ini. Rei, jangan bersedih atas kepergian cintamu. Jangan bersedih, dan jangan bersedih. Ungkapan itulah yang didengung-dengungkan oleh penulis kitab La Tahzan. Kitab kecintaanmu dan Zahra.” Gumam Visha sembari menatap foto Rei, lirih.

***TAMAT***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar